
Penulis : Thadea Wijaya
Mahasiswi Prodi Ilmu Ekonomi
Universitas Bangka Belitung
Lonjakan
harga barang kebutuhan pokok terus dirasakan masyarakat Bangka Belitung. sementara
kenaikan upah tampak berjalan di tempat. Setiap bulan, konsumen menyaksikan
label harga yang makin menjauh dari jangkauan penghasilan tetap mereka. Keadaan
ini menciptakan tekanan besar terhadap daya beli masyarakat yang makin melemah.
Inflasi yang tidak diimbangi dengan penyesuaian upah telah menekan konsumsi
rumah tangga secara signifikan. Daya beli yang menurun bukan hanya mempersempit
kemampuan belanja masyarakat, tetapi juga memperlambat roda perekonomian lokal.
Penghasilan tetap telah dikikis oleh harga-harga yang terus merambat naik,
meninggalkan kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan finansial. Dilema ini
pun memunculkan pertanyaan serius tentang arah kebijakan ekonomi di Bangka
Belitung.
Berbagai
sektor di Bangka Belitung telah terdampak oleh inflasi, mulai dari bahan
pangan, logistik, hingga transportasi antarpulau. Data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menunjukkan bahwa kelompok
makanan menjadi penyumbang terbesar inflasi bulanan. Hal ini turut mendorong
kenaikan biaya hidup secara keseluruhan. Sayangnya, pelaku usaha di daerah ini
seringkali tidak segera menyesuaikan upah karyawan karena khawatir menambah
beban operasional, terutama bagi sektor informal dan UMKM yang mendominasi
struktur ekonomi lokal. Upah minimum provinsi (UMP) pun kerap hanya naik secara
nominal, bukan riil, sehingga tak cukup untuk menutup kebutuhan dasar. Seperti
yang dijelaskan Sutrisno (2021), kestabilan inflasi harus berjalan seiring
dengan penyesuaian tingkat upah agar perekonomian tetap terjaga. Jika inflasi
tak terkendali sementara upah stagnan, maka kesejahteraan buruh pun tergerus.
Masalah
ini menjadi lebih kompleks ketika dikaitkan dengan kemiskinan struktural yang
masih terjadi di beberapa kabupaten seperti Belitung Timur dan Bangka Selatan.
Ma (2023) menemukan bahwa inflasi dan upah memiliki kontribusi langsung
terhadap peningkatan angka kemiskinan. Semakin tinggi inflasi tanpa peningkatan
penghasilan, semakin banyak masyarakat yang jatuh dalam jerat kemiskinan.
Konsumsi masyarakat Bangka Belitung pun menurun drastis, bahkan untuk barang
esensial seperti pangan bergizi dan layanan kesehatan dasar. Hal ini menjadi
beban berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki ruang
lebih untuk berhemat. Ketika belanja dasar sudah tidak terpenuhi, maka
pembangunan sumber daya manusia pun terancam.
Kelas
menengah di Bangka Belitung juga tak luput dari tekanan inflasi. Kenaikan tarif
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku nasional turut berdampak pada harga
barang konsumsi di wilayah ini. Lee dan Harianto (2024) mencatat bahwa
kebijakan tersebut memperburuk daya beli kelas menengah, termasuk di daerah
kepulauan seperti Babel. Pajak konsumsi yang meningkat dialihkan ke konsumen
dalam bentuk harga yang lebih tinggi, sehingga rumah tangga mulai mengurangi
pengeluaran non-esensial. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan negara, dampaknya justru terasa nyata di kantong masyarakat.
Pengangguran
juga menjadi isu krusial di tengah ketidakseimbangan antara inflasi dan upah.
Karimah et al. (2023) menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi berkorelasi dengan
meningkatnya pengangguran, terutama di sektor informal seperti nelayan dan
buruh kebun lada di Bangka Belitung. Kenaikan biaya operasional membuat
perusahaan memilih efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja, alih-alih
menaikkan upah. Hal ini memperbesar jumlah pencari kerja baru di pasar yang
sudah jenuh. Inflasi menyebabkan PHK, PHK menekan daya beli, dan daya beli
rendah kembali memperlambat pertumbuhan ekonomi—sebuah lingkaran setan yang
sulit diputus tanpa intervensi yang tepat.
Di
daerah lain seperti Jawa Timur, Warapsari et al. (2021) telah membuktikan bahwa
hubungan antara upah minimum dan inflasi sangat memengaruhi penyerapan tenaga
kerja. Hal ini juga relevan dengan situasi di Bangka Belitung, di mana banyak
pelaku usaha kecil enggan menambah pekerja baru karena beban biaya hidup yang
terus meningkat. Tanpa regulasi yang adaptif dan berbasis data lokal, kebijakan
upah dan harga hanya akan menguntungkan sebagian pihak dan meninggalkan
kelompok rentan dalam ketidakpastian ekonomi.
Stabilitas
ekonomi di Bangka Belitung tidak bisa dilepaskan dari strategi moneter nasional
yang tepat sasaran. Lesmana et al. (2025) menekankan pentingnya menjaga
keseimbangan antara inflasi, jumlah uang beredar, dan pertumbuhan ekonomi. Bank
Indonesia memegang peran sentral dalam mengatur suku bunga dan menjaga
kestabilan harga. Namun, kebijakan ini harus disampaikan secara transparan dan
inklusif agar bisa dipahami oleh masyarakat daerah. Edukasi ekonomi menjadi
penting agar warga tidak hanya menjadi korban kondisi, tetapi juga mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi.
Konsumsi
rumah tangga sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami
pelemahan di Bangka Belitung. Maulina (2022) menyatakan bahwa inflasi menggerus
kemampuan belanja masyarakat, terutama yang bergantung pada pendapatan tetap.
Ini berdampak langsung pada sektor perdagangan lokal seperti pasar tradisional,
toko kelontong, dan pelaku usaha mikro. Ketika permintaan menurun, produksi dan
distribusi ikut terganggu, membuat pelaku usaha kesulitan mempertahankan
keberlangsungan operasional.
Dampak inflasi juga diperburuk oleh kebijakan fiskal yang belum sepenuhnya adaptif terhadap kondisi daerah. Subur dan Syata (2024) menjelaskan bahwa kenaikan PPN mempercepat laju inflasi, apalagi di daerah seperti Bangka Belitung yang sangat tergantung pada distribusi antarpulau dan logistik. Biaya transportasi yang tinggi akibat lokasi geografis turut memperbesar beban harga. Jika pemerintah tidak segera menyesuaikan kebijakan fiskal dengan mempertimbangkan daya beli lokal, maka ketimpangan akan semakin dalam dan stabilitas sosial-ekonomi terancam.
Daya beli yang tertekan, upah yang stagnan, serta inflasi yang terus merangkak menciptakan tantangan besar bagi masa depan ekonomi Bangka Belitung. Ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan hanya bisa diatasi melalui sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Penyesuaian upah berbasis inflasi, kebijakan fiskal yang adil, serta kontrol moneter yang responsif adalah tiga pilar penting untuk memulihkan daya beli masyarakat. Kesejahteraan warga bukan hanya tentang angka pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang akses terhadap kebutuhan dasar yang layak. Negara dan daerah perlu hadir bukan sekadar sebagai regulator, tapi sebagai pelindung hak ekonomi masyarakat Bangka Belitung.