no-style

Harga Naik, Upah Tak Beranjak: Dilema Inflasi dan Daya Beli Masyarakat Bangka Belitung

, Mei 05, 2025 WIB Last Updated 2025-05-06T14:41:15Z

Penulis : Thadea Wijaya

Mahasiswi Prodi Ilmu Ekonomi

Universitas Bangka Belitung


Lonjakan harga barang kebutuhan pokok terus dirasakan masyarakat Bangka Belitung. sementara kenaikan upah tampak berjalan di tempat. Setiap bulan, konsumen menyaksikan label harga yang makin menjauh dari jangkauan penghasilan tetap mereka. Keadaan ini menciptakan tekanan besar terhadap daya beli masyarakat yang makin melemah. Inflasi yang tidak diimbangi dengan penyesuaian upah telah menekan konsumsi rumah tangga secara signifikan. Daya beli yang menurun bukan hanya mempersempit kemampuan belanja masyarakat, tetapi juga memperlambat roda perekonomian lokal. Penghasilan tetap telah dikikis oleh harga-harga yang terus merambat naik, meninggalkan kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan finansial. Dilema ini pun memunculkan pertanyaan serius tentang arah kebijakan ekonomi di Bangka Belitung.

 

Berbagai sektor di Bangka Belitung telah terdampak oleh inflasi, mulai dari bahan pangan, logistik, hingga transportasi antarpulau. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menunjukkan bahwa kelompok makanan menjadi penyumbang terbesar inflasi bulanan. Hal ini turut mendorong kenaikan biaya hidup secara keseluruhan. Sayangnya, pelaku usaha di daerah ini seringkali tidak segera menyesuaikan upah karyawan karena khawatir menambah beban operasional, terutama bagi sektor informal dan UMKM yang mendominasi struktur ekonomi lokal. Upah minimum provinsi (UMP) pun kerap hanya naik secara nominal, bukan riil, sehingga tak cukup untuk menutup kebutuhan dasar. Seperti yang dijelaskan Sutrisno (2021), kestabilan inflasi harus berjalan seiring dengan penyesuaian tingkat upah agar perekonomian tetap terjaga. Jika inflasi tak terkendali sementara upah stagnan, maka kesejahteraan buruh pun tergerus.

 

Masalah ini menjadi lebih kompleks ketika dikaitkan dengan kemiskinan struktural yang masih terjadi di beberapa kabupaten seperti Belitung Timur dan Bangka Selatan. Ma (2023) menemukan bahwa inflasi dan upah memiliki kontribusi langsung terhadap peningkatan angka kemiskinan. Semakin tinggi inflasi tanpa peningkatan penghasilan, semakin banyak masyarakat yang jatuh dalam jerat kemiskinan. Konsumsi masyarakat Bangka Belitung pun menurun drastis, bahkan untuk barang esensial seperti pangan bergizi dan layanan kesehatan dasar. Hal ini menjadi beban berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak memiliki ruang lebih untuk berhemat. Ketika belanja dasar sudah tidak terpenuhi, maka pembangunan sumber daya manusia pun terancam.

 

Kelas menengah di Bangka Belitung juga tak luput dari tekanan inflasi. Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku nasional turut berdampak pada harga barang konsumsi di wilayah ini. Lee dan Harianto (2024) mencatat bahwa kebijakan tersebut memperburuk daya beli kelas menengah, termasuk di daerah kepulauan seperti Babel. Pajak konsumsi yang meningkat dialihkan ke konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi, sehingga rumah tangga mulai mengurangi pengeluaran non-esensial. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, dampaknya justru terasa nyata di kantong masyarakat.

 

Pengangguran juga menjadi isu krusial di tengah ketidakseimbangan antara inflasi dan upah. Karimah et al. (2023) menunjukkan bahwa inflasi yang tinggi berkorelasi dengan meningkatnya pengangguran, terutama di sektor informal seperti nelayan dan buruh kebun lada di Bangka Belitung. Kenaikan biaya operasional membuat perusahaan memilih efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja, alih-alih menaikkan upah. Hal ini memperbesar jumlah pencari kerja baru di pasar yang sudah jenuh. Inflasi menyebabkan PHK, PHK menekan daya beli, dan daya beli rendah kembali memperlambat pertumbuhan ekonomi—sebuah lingkaran setan yang sulit diputus tanpa intervensi yang tepat.

 

Di daerah lain seperti Jawa Timur, Warapsari et al. (2021) telah membuktikan bahwa hubungan antara upah minimum dan inflasi sangat memengaruhi penyerapan tenaga kerja. Hal ini juga relevan dengan situasi di Bangka Belitung, di mana banyak pelaku usaha kecil enggan menambah pekerja baru karena beban biaya hidup yang terus meningkat. Tanpa regulasi yang adaptif dan berbasis data lokal, kebijakan upah dan harga hanya akan menguntungkan sebagian pihak dan meninggalkan kelompok rentan dalam ketidakpastian ekonomi.

 

Stabilitas ekonomi di Bangka Belitung tidak bisa dilepaskan dari strategi moneter nasional yang tepat sasaran. Lesmana et al. (2025) menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara inflasi, jumlah uang beredar, dan pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia memegang peran sentral dalam mengatur suku bunga dan menjaga kestabilan harga. Namun, kebijakan ini harus disampaikan secara transparan dan inklusif agar bisa dipahami oleh masyarakat daerah. Edukasi ekonomi menjadi penting agar warga tidak hanya menjadi korban kondisi, tetapi juga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan ekonomi.

 

Konsumsi rumah tangga sebagai motor pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami pelemahan di Bangka Belitung. Maulina (2022) menyatakan bahwa inflasi menggerus kemampuan belanja masyarakat, terutama yang bergantung pada pendapatan tetap. Ini berdampak langsung pada sektor perdagangan lokal seperti pasar tradisional, toko kelontong, dan pelaku usaha mikro. Ketika permintaan menurun, produksi dan distribusi ikut terganggu, membuat pelaku usaha kesulitan mempertahankan keberlangsungan operasional.

 

Dampak inflasi juga diperburuk oleh kebijakan fiskal yang belum sepenuhnya adaptif terhadap kondisi daerah. Subur dan Syata (2024) menjelaskan bahwa kenaikan PPN mempercepat laju inflasi, apalagi di daerah seperti Bangka Belitung yang sangat tergantung pada distribusi antarpulau dan logistik. Biaya transportasi yang tinggi akibat lokasi geografis turut memperbesar beban harga. Jika pemerintah tidak segera menyesuaikan kebijakan fiskal dengan mempertimbangkan daya beli lokal, maka ketimpangan akan semakin dalam dan stabilitas sosial-ekonomi terancam.


Daya beli yang tertekan, upah yang stagnan, serta inflasi yang terus merangkak menciptakan tantangan besar bagi masa depan ekonomi Bangka Belitung. Ketimpangan antara pengeluaran dan pendapatan hanya bisa diatasi melalui sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. Penyesuaian upah berbasis inflasi, kebijakan fiskal yang adil, serta kontrol moneter yang responsif adalah tiga pilar penting untuk memulihkan daya beli masyarakat. Kesejahteraan warga bukan hanya tentang angka pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang akses terhadap kebutuhan dasar yang layak. Negara dan daerah perlu hadir bukan sekadar sebagai regulator, tapi sebagai pelindung hak ekonomi masyarakat Bangka Belitung.



Komentar

Tampilkan

  • Harga Naik, Upah Tak Beranjak: Dilema Inflasi dan Daya Beli Masyarakat Bangka Belitung
  • 0


 

Kabupaten