
Penulis : Syinthia Zaki
- Mahasiswa
Fakultas Hukum Prodi Hukum Universitas Bangka Belitung
Kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) adalah tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan
keluarga, di mana salah satu anggota keluarga menjadi korban tindakan agresif
dari anggota lainnya. KDRT mencakup berbagai bentuk kekerasan, termasuk fisik,
psikologis, seksual, dan ekonomi. Tindakan kekerasan ini sering kali melibatkan
pasangan suami istri, namun bisa juga terjadi antara orang tua dan anak, atau
antar anggota keluarga lainnya.
Dalam
banyak kasus, korban KDRT mengalami kesulitan untuk keluar dari situasi
tersebut karena adanya ketergantungan emosional, finansial, atau ketakutan
terhadap ancaman fisik dari pelaku. Selain itu, norma sosial yang masih
menganggap masalah keluarga sebagai urusan pribadi membuat banyak kasus KDRT
tidak dilaporkan, sehingga korban tidak mendapatkan perlindungan yang memadai.
KDRT
bukan hanya permasalahan individu, melainkan juga persoalan sosial yang serius.
Dampaknya tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik dan mental korban, tetapi
juga memengaruhi perkembangan anak-anak yang terlibat atau menyaksikan
kekerasan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif masyarakat dan
pemerintah untuk mencegah, menangani, dan memberikan perlindungan kepada korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam
menyikapi kasus KDRT yang menimpa salah satu artis baru-baru ini yang cukup
viral, kita dihadapkan pada realitas pahit mengenai kekerasan dalam rumah
tangga yang masih sering terjadi di Indonesia. Kasus ini menggambarkan betapa
mendalamnya dampak emosional dan fisik yang dialami korban, serta tantangan
yang harus dihadapi dalam proses penegakan hukum. CI (inisial) bukan hanya
korban kekerasan, tetapi juga simbol perjuangan melawan budaya patriarki dan
kekuasaan yang sering kali menyembunyikan kekerasan rumah tangga di balik tirai
privasi keluarga.
Penting
untuk menyoroti bahwa KDRT bukan sekadar masalah individu, melainkan masalah
sistemik yang memerlukan pendekatan holistik. Penegakan hukum harus melibatkan
tidak hanya sanksi bagi pelaku, tetapi juga dukungan psikologis dan sosial bagi
korban. Selain itu, kesadaran masyarakat dan pendidikan tentang kekerasan rumah
tangga perlu ditingkatkan agar kasus serupa bisa diatasi lebih efektif di masa
depan.
Penting
untuk menuntut keadilan dengan cara yang mendalam dan penuh empati, mengingat
kasus CI mengingatkan kita bahwa setiap tindakan kekerasan dalam rumah tangga
memiliki dampak yang luas dan memerlukan solusi komprehensif. Upaya untuk
melawan KDRT harus melibatkan semua lapisan masyarakat, dari pemerintah hingga
individu, untuk memastikan bahwa tidak ada lagi korban yang merasakan
penderitaan serupa.
Sebagai
mahasiswa, saya merasa prihatin melihat meningkatnya kasus kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) di Indonesia. Fenomena ini mencerminkan adanya
ketidakseimbangan dalam relasi kekuasaan antara pelaku dan korban, yang sering
kali disertai dengan masalah sosial lain seperti ketimpangan ekonomi, minimnya
pendidikan tentang hak-hak individu, serta kurangnya dukungan psikologis.
KDRT
bukan hanya permasalahan privat, tetapi juga isu sosial yang mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sayangnya, banyak korban yang merasa
terperangkap dalam lingkaran kekerasan ini karena stigma sosial, ketakutan,
atau ketergantungan ekonomi terhadap pelaku. Dalam banyak kasus, budaya
patriarki juga turut memperkuat norma-norma yang merugikan korban, terutama
perempuan dan anak-anak.
Untuk
meminimalisir KDRT, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan gender dan hubungan yang sehat.
Edukasi tentang hak asasi manusia serta penyuluhan mengenai tanda-tanda
kekerasan harus lebih diperkuat, baik melalui kurikulum pendidikan maupun
kampanye publik.
Selain
itu, pemerintah dan lembaga terkait perlu memperkuat akses ke layanan bantuan,
seperti hotline, perlindungan hukum, dan tempat penampungan sementara bagi
korban. Sistem peradilan juga harus memastikan bahwa pelaku KDRT mendapatkan
sanksi tegas dan tidak ada impunitas.
Dukungan psikologis juga sangat penting, baik bagi korban maupun pelaku. Dengan adanya konseling dan rehabilitasi, diharapkan pelaku dapat memahami kesalahan mereka dan tidak mengulanginya, sementara korban dapat pulih dan kembali memiliki kehidupan yang sehat.
Masyarakat perlu berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman dengan melaporkan kasus-kasus kekerasan dan mendukung korban untuk keluar dari situasi yang berbahaya. Dengan kerjasama yang solid antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat, kita dapat bersama-sama mengurangi angka KDRT di Indonesia