no-style

Laut Natuna Utara : Constantinopel Abad ke-21

, Mei 31, 2024 WIB Last Updated 2024-05-31T12:45:36Z


Oleh : Alimul Hakim, S.Kom, CHFI.

Berawal dari konflik dan sengketa saling akuisisi antar negara, Laut China Selatan atau yang kini disebut sebagai Laut Natuna Utara menjadi primadona dalam perhelatan politik internasional terkait kepemilikannya. Tidak terkecuali ikut serta dalam persoalan tersebut beberapa negara adidaya seperti Amerika Serikat dan China/Tiongkok, yang saling adu pamer kekuatan militer di Kawasan bersengketa tersebut. Laut Natuna Utara atau yang dulu “biasanya” disebut dengan Laut China Selatan, merupakan wilayah strategi yang berbatasan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan China. Di beberapa bagian terjadi tumpang tindih yurisdiksi antara negara pengklaim (Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan China) yang menjadikan potensi konflik di wilayah ini cukup tinggi. 

Adanya persoalan yang cukup serius di wilayah Laut Natuna Utara, memaksa Indonesia harus dan wajib untuk meningkatkan kewaspadaan serta keamanan terhadap kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang wilayahnya berbatasan langsung dengan wilayah konflik di Laut China Selatan, khususnya daerah Kepulauan Natuna. Mulai tahun 2016 presiden Republik Indonesia Joko Widodo sudah mengantisipasi serta memberikan perhatian khusus seputar wilayah perbatasan yang berdampingan langsung dengan Laut China Selatan. Dengan menerjunkan armada Angkatan Laut lengkap dengan persenjataan alat berat, serta diturunkannya kapal perang KRI Imam Bonjol mengawal lebih serius akan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya sesuai dengan konvensi hukum laut internasional atau united nations convention on the law of sea (Unclos, 1982), seputar zona ekonomi ekslusif atau ZEE.

Dilansir dari situs www.kumparan.com, pada tanggal 10 Januari tahun 2020 lalu, Kapal Coast Guard China memotong Haluan Kapal KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli di ZEE Indonesia yang bertepat di Utara Pulau Natuna. Maraknya kapal asing (dari Tiongkok khususnya) mulai memasuki wilayah Natuna Utara disebabkan alasan ingin melakukan pencurian ikan atau illegal fishing di wilayah tersebut. Menariknya, dilansir dari situs www.Indonesia.go.id pada era tahun 1990-an Kementerian Luar Negeri Tiongkok sekedar menyiratkan bahwa perairan di utara Kepulauan Natuna ialah “daerah penangkapan ikan bagi Tiongkok dari dulu” (traditional Chinese fishing grounds), tetapi di tahun 2016 pemerintah Tiongkok untuk pertama kalinya menyatakan hal ini secara eksplisit. Hal ini menandakan kedaulatan negara kita secara teritorial sedang tidak berada di garis hijau.

Ada upaya yang harus dilakukan oleh negara kita agar kedaulatan kita terjaga seutuhnya, khusunya yang berkaitan dengan wilayah teritorial kelautan seperti Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan terebut. Dirubahnya sebutan dari Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara (pada 2017 lalu) sendiri merupakan salah satu upaya untuk menunjukkan marwah negara kita, yang berarti kita tidak tunduk akan intervensi atau pengaruh asing, bahkan kita menunjukkan penamaan dengan nama wilayah negara kita. Kemudian dari pada itu, menurut Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, meminta pemerintah tetap konsisten dan ngotot untuk mempertahankan Laut Natuna Utara dari klaim China dengan 3 hal : pertama, pemerintah Indonesia sebaiknya menghadirkan nelayan-nelayan lokal di wilayah perairan Natuna. Kedua, penguatan patroli dari Coast Guard Indonesia guna menjaga para nelayan Indonesia sekaligus menindak kapal-kapal milik asing yang menangkap ikan secara ilegal di ZEE dan perairan Natuna Utara. Ketiga, Hikmahanto meminta pemerintah tetap ada kebijakan untuk tidak mengakui Sembilan garis putus-putus China atau nine-dash-line.

Komentar

Tampilkan

  • Laut Natuna Utara : Constantinopel Abad ke-21
  • 0


 

Kabupaten